Rabu, 11 September 2013

Filsafat Seni



FILSAFAT SENI”

Apakah Seni itu?
Melacak kata 'seni'
Kata `seni' telah umum dipakai sebagai padanan kata Inggris art. Tetapi, kapankah sebenarnya kata seni itu mulai dipakai dalam pengertian tersebut? Kata seni berasal dari bahasa Melayu (atau Melayu-Tinggi untuk membedakannya dengan bahasa Melayu-Rendah di zaman kolonial), yang berarti `kecil'. Pada tahun 1936, dalam sajaknya `Sesudah Dibajak', Sutan Takdir Alisyahbana masih mempergunakan kata ini dalam pengertian kecil tadi (Sedih seni mengiris kalbu). Dan pada tahun 1941, Taslim Ali juga masih mempergunakan kata seni dalam pengertian `kecil' dalam sajaknya `Kepada Murm' (Hiburkan hati Unggasku seni).
Tetapi, dalam majalah Pujangga Baru, 10 April 1935, dalam sebuah esai tulisan R.D., yakni `Pergerakan `80', telah dipakai kata seni dalam pengertian seperti yang sekarang kita pakai, yaitu art. Dalam esai tersebut termuat kata-kata:
'Seni menjadi ide aller-individueelete expressie van der individueelste emotie' (kelahiran yang sekhusus-khususnya dari perasaan yang sekhusus-khususnya). Seni tidak mempedulikan ukuran kesusilaan (ethics) lagi, tidak ingin memberi petuah. Lart pour Part, seni untuk seni. Ukurannya kedapatan dalam dirinya sendiri".
Rupanya pengeitian seni dalam padanan art tadi mulai diperkenalkan dan dipakai di lingkungan kaum intelektual zaman itu, meskipun tampak bahwa kata yang sama masih dipergunakan dalam pengertian aslinya, vakni kecil. Dalam zaman sesudah kemerdekaan, kata seni untuk art yanakin sering dipergunakan, dan menjadi pengertian art secara resmi sampai sekarang. Bahkan pada tahun 1955 ada majalah khusus yang dinamai Seni, meskipun usianya hanya satu tahun.
Dalam bahasa Melayu-Rendah yang berlaku di lingkungan pers peranakan Cina, tidak dikenal kata seni untuk art. Dalam majalah Sin Po, 25 Juli 1931, dalam artikel berjudul `Raden Saleh', masih dipakai kata `tukang'. Dalam artikel itu Raden Saleh disebut s~bagai tukang menggambar Indonesier. Kadang juga dipergunakan kata tukang teeken atau satu schilder. Dipakai juga sebutan untuk tukang ukir patung dan tukang nyanyi kroncong. Jadi, padanan Melayu-Rendah untuk kata seni adalah tukang.
Dalam bahasa Jawa pun dipergunakan pengertian tukang bagi pekerja seni, tak beda dengan tukang kereta, tukang besi, dan tukang emas. Menurut Prof. Dr. Sudjoko, dalam bahasa Jawa dikenal kata kagunan atau pakaryan untuk jenis seni ini. Dalam kamus Belanda-Melayu susunan Klinkert, seni alias kunst mempunyai pengertian hikmat, ilmu, pengetahuan, kepandaian, ketukangan.
Ini sesuai dengan pengertian art dalam bahasa Inggris yang juga berarti art is skill in making or doing (`Art and The Arts', The World Book Encyclopedia). Di sini seni lebih menunjuk kepada pengertian perbuatan atau ketrampilan, bukan pengetahuan
Memang dalam kenyataannya, kata art dapat berarti ketrampilan (skiin, aktivitas manusia, karya (work of art), seni indah ~ne art), dan seni rupa (visual art).
Inilah sebabnya orang dapat berbicara tentang seni pengobatan, seni memasak, seni perang, seni berdagang, seni manajemen. Bahkan seluruh hidup kita ini juga suatu `seni'.
Tentu saja seni sebagai ketrampilan, keahlian, dan perbuatan untuk menghasilkan sesuatu tidak lahir begitu saja. Untuk menguasai suatu ketrampilan, seseorang harus berpengetahuan terlebih dahulu. Untuk menjadi tukang kereta, seseorang tidak dilahirkan sebagai ahli kereta, tetapi harus belajar, berpendidikan perkeretaan. Dan setiap pendidikan selalu melibatkan teori dan praktek, pengetahuan dan latihan. Orang baru dapat berpraktek setelah berpengetahuan. Lama kelamaan, keserasian antara teori dan praktek akan membentuk suatu insting, suatu sikap dasar ketrampilan. Dan kalau sikap dasar ketrampilan ini telah dimiliki, orang tinggal memilih menjadi `tukang' sebenarnya, yang bekerja berdasarkan ilmu yang diperolehnya, atau menjadi seorang yang kreatif. Yang terakhir inilah yang menyangkut pengertian `seni'.
Dalam seni memasak tentu saja ada teori memasak. Kalau kita akan membuat sayur asem, harus ada ramuan bumbu dan bahan-bahannya. Tetapi, memasak hanya berdasarkan `teori' lugas semacam itu tentu saja akan menghasilkan masakan sayur asem yang seragam. Maka, diperlukan `seni' memasak sayur asem, yakni bekal kreativitas si pemasak untuk membuat sayur asem yang khas miliknya, meskipun masih berdasarkan bumbu dan bahan yang sama seperti dikemukakan dalam teori.
Kreativitas dalam hal ini adalah bagaimana seseorang mampu mempergunakan teori ketrampilan dalam menjawab persoalan dalam bidangnya masing-masing. Ilmu masak-memasak barangkali memang suatu ilmu, seperti halnya ilmu kedokteran, tetapi seorang yang tamat mempelajari ilmu memasak atau kedokteran tidak otomatis menjadi seorang seniman masak dan seniman dokter. Yang membedakannya adalah kreativita~ - ketrampilan lain yang sifatnya lebih rohaniah.
Kreativitas dalam pengertian ini adalah kerja rohaniah atau mental yang mampu mengembangkan dan memanfaatkan teori yang telah dikuasainya itu dalam menghadapi berbagai persoalan yang muncul dalam bidangnya. Mereka yang hanya berpengetahuan dan trampil tapi kurang kreatif tentu akan menjadi `tukang' yang berbeda dengan `seni'.
Seni perang, misalnya, didasarkan atas seperangkat ilmu tentang tatacara berperang. Ada teori perang. Tapi seorang jendral yang hanya mempraktekkan ilmu perangnya sesuai dengan buku teori tentu akan konyol. Diperlukan kreativitas sendiri dalam menghadapi medan perang persoalan nyata yang dihadapi di lapangan. Jendral Ali mungkin akan bertindak lain dengan Jendral Basir dalam menghadapi persoalan medan yang sama, meskipun keduanya lulusan akademi militer dalam semester yang sama. Inilah seni itu.
Kembali kepada asal kata `seni' dalam bahasa Indonesia, p~ngertiannya tampak menjadi aneh. Pengertian `kecil' (perasaan seni, burung seni) untuk mewakili pengertian `tukang' atau `perbuatan' kemudian tampak janggal dan membingungkan. Aktivitas ketrampilan yang dikenakan kepada art atau kunst talc ada hubungannya sama sekali dengan pengertian `kecil'. Mengapa R.D. dulu memilih kata itu untuk kunst?
Kalau pengertian ketrampilan fisik saja tak termuat dalam kata seni itu, bagaimana bisa kandungan pengertian kreatif dapat dimasukkan ke dalamnya?
Tetapi, begitulah adanya sejarah kata seni kita. Kata itu telah menjadi kosa kata yang baku. Untuk mengubahnya tentu kecil sekali kemungkinannya. Dan untuk apa? Mawar pun tetap mawar meskipun namanya diganti bukan mawar. Kata `seni' dalam pengertian trampil dan kreatif terpaksa harus diterima, karena kenyataan sejarahnya memang demikian.
Apakah Seni Itu ?
Apa yang disebut `seni'. memang merupakan suatu wujud yang terindera. Karya seni merupakan sebuah benda atau artefak yang dapat dilihat, didengar, atau dilihat dan sekaligus didengar (visual, audio, dan audio-visual), seperti lukisan; rnusik, dan teater. Tetapi, yang disebut seni itu berada di luar benda seni sebab seni itu berupa nilai. Apa yang disebut indah, baik, adil, sederhana, dan bahagia itu adalah nilai.
Apa yang oleh seseorang disebut indah dapat tidalc indah bagi orang lain.
Nilai itu sifatnya subjektif, yaitu berupa tanggapan individu terhadap sesuatu (di sini, benda seni atau objek seni) berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Tanggapan individu terhadap suatu benda seni akan membangkitkan kualitas nilai tertentu sesuai dengan nilai-nilai seni yang dikenal dan dialami si individu. Tentu saja hal ini baru terjadi kalau benda seni itu sendiri memang mengandung atau menawarkan nilai-nilai objektifnya. Sebuah penelitian antropologis di suatu negara Afrika • menunjukkan bahwa nilai-nilai seni itu baru muncul kalau penanggap seni punya pengalaman dan pengetahuan yang dikandung oleh benda seni. Sebuah karya Beethoven diputar di depan anak-anak Afrika yang sekolah setingkat SMU, dan ternyata beberapa anak dapat menikmati musik itu. Tetapi, ketika karya musik yang sama diputar di depan penduduk pedesaan yanS sama sekali belum pernah berhubungan dengan budaya Barat, banyak yang tidak dapat menilai apakah itu musik sedih atau gembira. Mereka tahu bahwa itu musik, namun mereka tak ada yang tahan mendengarkannya sampai habis.
Dalam hal ini kiranya,jelas bahwa apa yang disebut seni itu baru `ada' kalau terjadi dialog saling memberi dan menerima antara subjek seni (penanggap) dengan objek seni (benda seni). Inilah yang disebut `relasi seni'. Dalam istilah lain dikatakan kalau terjadi `jodoh' antara penanggap dan benda seni. Dengan demikian, nilai seni hanya terdapat di dalam suatu wacana. APa yang disebut seni arsitektur masyarakat Cina berbeda dengan seni ogirgrtektur orang Jawa atau orang Yunani Purba. Kalau demikian apakah nilai seni itu berbeda-beda menurut tempat dan zamannya? Jawabannya dapat tidak dan ya. Tidak, karena nilai-nilai seni itu muncul dari benda seni dengan material seni atau bahan seni yang sama. Seni musik di mana pun dan kapan pun mendasarkan diri pada material seni berupa bunyi, sedangkan seni lukis berupa bahan warna, seni tari materialnya gerak tubuh manusia. Perbedaannya terletak dalam memperlakukan material seni itu. Untuk itu, marilah kita lihat hubungan antara nilai Seni dan material.
Materil seni diPilih seniman untuk diolah menjadi medium seni.  Misalnya melukis memilih cat. Cat ini diolah dalam aspek-aspek mediumnya, seperti warna, tekstur, torehan, garis, bangun, dan lain-lain. Medium ini diolah lagi menjadi wujud-wujud tertentu yang bersifat mimesis (meniru alam) atau ekspresi imajinatif atau abstrak. Pengolahan wujud ini dituntun oleh isi gagasan pelukisnya. Dan gagasan itu muncul dalam diri seniman akibat tanggapan atau perhatiannya terhadap suatu objek ( subject matter). Dari uraian di atas jelaslah bahwa apa yang disebut nilai seni terdapat pada tahap pengolahan dan hasil pengolahan medium seni, wujud seni, dan isi seni. Dengan demikian, kita sampai pada kesimpulan bahwa nilai seni itu terletak pada aspek wujud dan isi (content) benda seni.
Dalam hal ini, setiap bidang seni memiliki material seninya masing¬-masing yang  jelas berbeda-beda. Material seni mengandung kekayaan mediumnya sendiri-sendiri pula. Dan setiap material seni mengandung kekayaan kemungkinan-kemungkinannya sendiri dan juga berbagai keterbatasan mediumnya sendiri, sehingga seni tari berbeda dengan seni lukis, seni Sastra berbeda dengan seni film. Gagasan yang muncul dari objek  yang sama dari seorang pelukis yang merangkap pula sebagai seorang sastrawan akan melahirkan dua bentuk seni yang berbeda, baik secaa isi maupun bentuknya. Inilah sebabnya sebuah karya novel yang bermutu sering menjadi sebuah karya film yang kurang bermutu, atau sebaliknya. Tetapi yang jelas, setiap karya seni, apa pun bidangnya, dapat dilihat aspek bentuk dan isinya.
Di sini kita bisa bicara tentang nilai-nilai bentuk seni dan isi seni.
Yang pertama kita tangkap dari sebuah benda seni adalah nilai bentuk seninya. Bentuk ini diwujudkan oleh material-medium seninya masing-masing, sehingga kita segera tertarik oleh daya pesona inderawinya (warna, bunyi). Inilah nilai seni yang bersifat kualitas empiris, yang setiap orang dapat memberikan tanggapan berbeda-beda (nilai subjektif). Dan perbedaan nilai ini mulai bertambah lagi ketika wujud-wujud inderawi yang ada pada benda seni itu kita lihat susunan atau penempatannya; dengan kata lain: strukturnya. Benda seni itu sendiri terdiri dari unsur-unsur bentuknya dalam struktur tertentu, tetapi tanggapan orang dapat berbeda-beda pula dalam menyusun struktur subjektifnya (nilai struktur).
Aktivitas restrukturisasi benda seni oleh penanggap ini akan melahirkan tafsir isi seni yang berbeda-beda pula.
Apakah yang dimaksud dengan isi seni itu? Yang dimaksud di sini adalah `isi jiwa' seniman yang terdiri dari perasaan dan intuisinya, pikiran dan gaga`sannya.
Sebuah benda seni secara simultan memberikan kesatuan nilai-nilai melalui bentuknya. Melalui bentuk itulah tertangkap isi. Dalam hal ini ada dua aliran besar dalam aliran seniman, yakni bahwa isi tidak penting dalam benda seni, yang paling penting adalah bentuk demi bentuk itu sendiri. Inilah aliran disinterestedness (ketanpapamrihan) atau secara populer dikenal dengan semboyan `seni untuk seni'. Sementara itu, aliran yang lain menekanken aspek isi ini dalam seni, bahwa.seni itu selalu mempersoalkan nilai-nilai hidup lingkungan manusia.
Dengan demikian, sebuah benda seni disebut sebagai seni kalau sudah berada di tangan penanggap seni. Seni itu masalah komunikasi, masalah relasi nilai-nilai. Sebuah benda akan disebut seni kalau melahirkan relasi seni berupa munculnya berbagai nilai dari benda tersebut. Sebuah sadel sepeda tiba-tiba dapat menjadi sebuah patung di tangan seniman Picasso, karena seniman ini menawarkan nilai-nilai bentuk yang membawa penanggap pada isi kualitas yang dimiliki oleh seekor banteng.
Nilai itu selalu bersifat subjektif dan karenanya selalu bersifat historis. Nilai itu amat tergantung dari tempat dan zamannya. Nilai itu bersifat kontekstual. Apa yang pada tahun 1920, suatu perbuatan dinilai tidak sopan, misalnya gadis naik sepeda, maka pada masa sekarang hal itu dinilai wajar saja. Begitu pula sebuah sajak Pujangga Baru pada tahun 1930-an bernilai seni tinggi, pada masa sekarang mungkin banyak yang dinilai kurang memadai lagi. Bahwa nilai seni itu juga kontekstual, dapat ditinjau dari segi bentuk dan isinya. Bentuk seni yang kontekstual itu disebut idiom seni sezaman, yakni bagaimana isi seni biasanya diwujudkan dalam sebuah bentuk seni, dan isi seni itu sendiri jelas membawa nilai-nilai masyarakat sezamannya. Dalam benda seni terbawa nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat si seniman, entah seniman menyetujui nilai-nilai masyarakatnya, menolaknya, atau memberi tafsir baru atas nilai-nilai tersebut. Inilah pentingnya mengapa seorang penanggap atau seniman perlu mempelajari sejarah seni bidangnya. Dari pengetahuan ini dia akan lebih mampu menciptakan nilai-nilai baru atau bagi penanggap akan lebih memudahkan menemukan nilai-nilai dalam benda seni yang dihadapi. Meskipun nilai seni itu kontekstual secara bentuk dan isi, namun ada pula nilai-nilai yang sifatnya universal melewati batas waktu dan tempat. Ini karena struktur jiwa manusia itu sepanjang sejarahnya tetap sama. Dan, karena benda seni merupakan bentuk ungkapan manusia, tentu terbawa pula karakteristik kejiwaan manusia dari zaman apa pun. Dengan demikian, persoalan nilai kontekstual dan universal dalam seni adalah persoalan seniman itu sendiri, apakah dia mampu melihat aspek-aspek nilai universal ketika menanggapi masalah-masalah nilai konteksnya. Embrio nilai isi seni itu selalu kontekstual, dan seniman yang sejati selalu berusaha melihat persoalan kontekstual itu secara universal dalam arti selalu berusaha melihat nilai hakiki masalahnya. Benda-benda seni yang demikian itulah yang akan abadi.
1. Batasan Seni
Novelis Saul Bellow dalam Mr. Sammler's Planet (1969) menulis: `Intelektual adalah mahluk yang suka penjelasan'. Memang, soal batasan atau definisi adalah penjelasan rasional objektif tentang suatu kenyataan, dan itu selalu berlaku di lingkungan kaum elit terpelajar. Kebenaran akan muncul kalau sddah terjelaskan. Maka, batasan seni selalu dimulai dalam halaman-halaman buku ilmiah tentang seni. Begitu pula filsafat seni, dimulai dengan pembahasan hakikat seni yang rumit dan sulit, berbelit¬belit. Mereka yang berasal dari lingkungan sosial yang tidak terpelajar barangkali tak peduli tentang batasan ini. Seni? Ya, untuk dinikmati saja. Kalau Anda senang, silakan; kalau tak senang, tinggalkan. Habis perkara.
Batasan tentang seni barangkali jumlahnya telah mencapai puluhan atau ratusan. Dan tak satu pun yang diterima oleh semua pihak. Batasan tentang apa yang disebut `sapi' saja bisa berbeda-beda, bergantung pada cara pandang dan fokus penekanannya. Apalagi soal seni atau kebudayaan yang merupakan pengertian nilai. Filsuf Nietzche mengatakan: `Hanya yang tak memiliki sejarah sajalah yang dapat diberi batasan'. Batu dan kayu barangkali tak punya seja~ah, dan dengan demikian dapat didefinisikan, diberi batasan. Tetapi, seni dan kebudayaan punya sejarah, punya perkembangan, dan dengan demikian sulit diberi batasan. Siapa pun yang memberikan batasan tentang seni akan selalu ketinggalan karena begitu batasan itu dibuat, seni itu sendiri telah berubah. Persoalan yang sama dihadapi oleh pertanyaan, misalnya: kepribadian Indonesia itu yang mana?
Karena seni bukan semata-mata `benda seni' fetapi juga nilai-nilai yang dikandung di dalamnya dan yang serta-merta dilihat oleh penikmat seni, maka batasannya juga dapat ganda. Yang pertama menyangkut nilai dan yang kedua menyangkut benda atau artefak seni. Batasan pertama biasanya bersifat ideal. Seni bukan apa yang diperlihatkan oleh benda seni, tetapi apa yang seharusnya terdapat pada benda seni. Bukan kenyataan seni yang ada yang diberi batasan, tetapi nilai ideal tentang seni yang terdapat dalam benak si pembuat batasan. Apa yang seharusnya terdapat dalam benda seni dengan sendirinya berbeda dengan apa yang senyatanya terdapat dalam benda seni. Yang pertama (batasan ideal) terdapat dalam bidang filsafat, sedangkan yang kedua (batasan empiris) terdapat dalam bidang ilmu. Jadi, apakah batasan senr itu ideal atau empiris?
Dalam praktek, batasan falsafi inilah yang sering muncul di masyarakat. Akibamya, batasan seni dapat berbeda-beda karena dasar pemikiran filosofinya berbeda. Orang tinggal memilih batasan berdasarkan filosofi yang dia setujui. Tak ada yang berhalc menuntut bahwa batasannyalah yang paling benar! Dan bahwa batasan yang lain salah semua. Tentang ajaran yang spekulatif-logis ini tentu tak ada yang mutlak, meskipun ambisinya memang begitu. Selera tak bisa diperdebatkan, begitu pula selera pemikiran.
Batasan yang kedua bersifat empiris-ilmiah. Batasan semacam ini pernah dilakukan oleh filsuf David Hume dari Inggris dalam abad ke-18. Ia mencoba mengumpulkan berbagai pengertian mengenai `pengalaman seni'. Dari kumpulan itu dirincilah unsur-unsurnya, dan dari unsur-unsur itu dikumpulkan persamaan dan perbedaannya. Perbedaan pengertian lalu diabaikan, sedangkan kesamaan dianalisis. Berbagai persamaan unsur tadi dapat menjadi dasar standard of taste yang universal. Maka, akan ditemukan `ukuran' tentang apakah suatu benda pantas disebut seni atau bukan. Kesimpulan yang didapatkannya adalah bahwa keindahan atau pengalaman seni itu terletak pada perasaan masing-masing manusia dan bukan pada benda yang menimbulkan pengalaman seni tadi. Sudah pasti ada sifat-sifat tertentu yang dikandung benda seni tadi. Tetapi, sulit untuk menunjukkan sifat-sifat tertentu yang terdapat dalam setiap benda seni. Ya, karena kreativitas tak dapat dihentikan. Penciptaan benda seni yang lebih baru terus terjadi, yang bisa saja mengingkari kaidah-kaidah yang telah didefinisikan. Maka, tak mungkin memberikan batasan ideal. Karena seni memang terus berubah, berkembang, dan tak terduga-duga.
Adalah Melvin Rader yang mencoba menjelaskan mengapa terdapat begitu banyak batasan seni yang simpang-siur.
Benda seni adalah perwujudan dari nilai-nilai seni yang diekspresikan seniman. Benda seni benar-benar disebut benda seni kalau publik seni berhasil menggali nilai¬nilai yang terkandung dalam artefak seni tadi. Keberhasilan penggalian ini bergantung pada kemampuan publik seni untuk mendapatkan apa yang mereka sebut `seni' dalam benda seni tersebut. Jadi, masalahnya adalah komunikasi. Komunikasi antara seniman dan publik seni melalui benda seni.
Karena adanya tiga unsur pokok dalam peristiwa komunikasi ini, maka batasan seni dapat pula menekankan salah satu unsur dan mengabaikan unsur-unsur lain. Di sinilah kesimpang-siuran terjadi. Dan kecil kemungkinan orang mampu membuat batasan yang mencakup ketiga unsur yang melibatkan terjadinya apa yang disebut seni.
Batasan seni yang bertolak dari unsur seniman akan memunculkan masalah ekspresi, kreasi, orisinalitas, intuisi, dan lain-lain lagi.
Sementara itu, yang bertolak dari benda seni akan menekankan pentingnya aspek bentuk, material, struktur, simbol, dan sebagainya. Dan yang bertolak dari publik seni akan melibatkan apresiasi, interpretasi, evaluasi, konteks, dan sebagainya. Ambisi untuk membuat batasan yang meliputi ketiga unsur dan semua aspeknya tentu akan membingungkan si pembuat maupun si penerima batasan.
Terdapat pula perbedaan pendapat di antara para pembuat batasan dari pihak seniman, misalnya yang menyangkut apa yang seharusnya diekspresikan oleh seniman dalam karya seni. Jacques Maritain menyebutkan bahwa seni adalah ekspresi intelektual, sedangkan Santayana menyebutnya rasa senang seniman. Croce menyebutnya intuisi yang diekspresikan, Freud menyebutnya hasrat bawah sadar manusia yang diekspresikan, dan Bosanquet menyebutnya jiwa keseluruhan. Lalu, apakah pemilihan kata `ekspresi' telah disetujui bersama? Tolstoi lebih baik menyebutnya sebagai `dikomunikasikan', Santayana `diobyektifikasikan', Langer menyebumya `disimbolisasikan', dan Bosanquet lebih suka menyebutnya `diwujudkan'.
Begitulah kira-kira rimba raya definisi atau batasan yang terjadi pada seni. Ini semua karena seni adalah persoalan nilai dan penilaian. Ada sementara orang yang menyebutkan novel Putu Wijaya itu seni sastta, sedangkan novel Mira W bukan. Anyaman tikar tidak dikategorikan seni rupa, sedangkan lukisan cat air termasuk. Srimulat itu bukan teater, sedangkan karya Arifin C Noer ya. ,
Batasan seni adalah batasan nilai tentang apa yang disebut seni. Memang ada usaha membuat batasan yang sifafiya pemerian atau deskripsi. Tapi, batasan demikian ini tak menggubris nilai-nilai sama sekali.lVlaka yang muncul adalah batasan tentang seni yang tanpa nilai. Usaha ini hanya penting untuk membedakan antara seni dan ilmu, seni dan teknologi, seni dan filsafat. Bahwa seni itu bukan ilmu, seni itu bukan teknologi. Ke dalam batasan semacam itulah akan masuk pengertian seni bagi karya Putu Wijaya, Arifin C Noer, Marga T, Mira W, Jan Mintaraga, Achmad Sadali, Srimulat, dan Teater Kecil. Pada kenyataannya novel-novel Putu Wijaya dan Marga T bukanlah telaah ilmiah tentang kondisi manusia Indonesia.
Kembali kepada ucapan Nietzche di atas, bahwa segala sesuatu yang memiliki sejarah tak mungkin diberi batasan, maka seni terus berkembang dan berubah, seperti halnya manusia.
2. Seni Sebagai Kualitas
Yang dimaksud dengan kualitas di sini ialah sesuatu yang dapat disebutkan rnengenai suatu objeck yang merupakan bagian dari objek itu dan membantu melukiskannya' (Louis O Kattsoff). Batasan ini memang cukup rumit. Untuk mudahnya dapat dikatakan bahwa kualitas suatu objek adalah sifat-sifat yang kita lihat pada objek tersebut. Misalnya, kita melihat sesisir pisang yang besar, panjang, hijau lumut, segar, tegang, dan sebagainya. Maka, kualitas yang kita lihat pada pisang itu adalah sifat buah yang besar ¬panjang, tegang dan segar, serta berwarna hijau lumut. Namun, itu hanya penggambaran sebuah kualitas, sedangkan kualitasnya itu sendiri tak mungkin ditampilkan dalam tulisan ini. Kualitas pisang semacam itu hanya dapat dirasakan atau ditangkap kalau orang benar-benar berhadapan dengan pisang yang dimaksud. Dalam seni, justru kualitas semacam itulah yang harus muncul.
Seorang seniman pada mulanya berhadapan dengan sebuah objek, misalnya pisang tadi. Dia melihat pisang tersebut dalam kualitas yang digambarkan di atas. Dan, kualitas yang dilihatnya itu mungkin mengingatkannya pada kondisi manusia muda yang masih segar, beringas, penuh daya hidup, masih tahan lama menghadapi derasnya arus waktu, dan sebagainya: Maka, nilai-nilai kualitas yang diperolehnya dari objek pisang tersebut akan disampaikannya kepada orang lain, karena visinya tentang kualitas yang dimiliki pisang tadi sungguh berharga bagi manusia lain. Inilah yang disebut `kualitas yang dirasakan' oleh seniman. Kalau dia bukan seniman, melainkan seorang guru, mungkin dia hanya akan menjelaskan saja kualitas pisang semacam itu. Seperti halnya tulisan ini. Tetapi, kalau dia seorang seniman, dia akan mewujudkan nilai kualitas tadi dalam suatu benda seni, entah lukisan, sajak, musik, atau tarian, bergantung pada bidang seni mana yang digelutinya. Kalau dia. seorang pelukis, tentu dia menguasai mediumnya yang berupa peralatan kuas, bahan cat, kanvas, dan mungkin peralatan lain. Dan, dia amat mengenal sifat-sifat mediumnya itu dengan baik. Dengan kata lain, seorang seniman menguasai sekali kualitas mediumnya. Masalahnya sekarang adalah bagaimana kualitas yang dirasakannya pada pisang tadi dapat diwujudkan melalui atau dengan kualitas medium seni yang dikenalnya itu.
Jadi, jelaslah bahwa seni bukan se.kadar informasi mengenai kenyataan. Seni harus berbeda dengan informasi fakta belaka. Dengan informasi saja orang tak dapat `merasakan kualitas' suatu objek.
Dengan sistem informasi atau penjelasan verbal, paling yang didapatkan adalah pemahaman. Seni memang juga bertujuan memberikan pemahaman, bukan secara nalar, verbal, tetapi secara empirik, pengalaman, penghayatan. Dan yang dapat dialami atau dihayati adalah perwujudan kualitas objek tadi.
Selanjutnya, perwujudan nilai kualitas tadi bukan sekadar menggunakan medium tertentu, tetapi dengan selera seni atau katakanlah dengan selera keindahan. Dalam mewujudkan kualitas pisang tadi, seniman harus bergulat dengan mediumnya untuk mencapai bentuk yang pas atau cocok dengan selera keindahannya.
Di sini seorang seniman mungkin saja teknikus cat, teknikus bahasa, teknikus bunyi, teknikus gerak. Selain seorang teknikus, dia juga seorang pemikir, seorang yang mempuaiyai imajinasi mengenai wujud yang tepat untuk menyampaikan kualitas pisang yang dilihatnya tadi. Boleh dikatakan seorang seniman juga seorang filsuf yang mengetahui dasar-dasar bentuk yang menarik, menyentuh, mempesona manusia lain. Kualitas yang dirasakannya tadi (mungkin dirasakan dengan bangga, gembira, mulia) harus ditaklukkannya dalam medium yang digunakan atau dipilihnya.
Penaklukan inilah yang biasa disebut sebagai perwujudan seni, objektivikasi seni, dan istilah-istilah lain, seperti simbolisasi seni. Cara mewujudkan inilah yang memerlukan sikap tertentu dari si seniman, yakni sikapnya terhadap perwujudan, terhadap bentuk.
Dan biasanya ini dipelajari dalam matematika, dalam ilmu berpikir murni. Sikap ini dapat diperoleh dari belajar, baik dalam pengertian menimba pengetahuan xnaupun dari sejarah pengalaman hidupnya sendiri. Mengapa orang menganggap sesuatu itu menarik kalau unsur-unsurnya seimbang atau tidak seimbang, misalnya. Sesuatu menarik kalau teratur, yang lain teratur dalam ketidak-beraturan. Sesuatu yang bulat lebih menarik daripada yang persegi.
Dengan “peralatan” tadi seorang Seniman dapat mewujudkan kualitas pisang yang dirasakannya tadi dalam sebuah karya seni. Seorang penyair mewujudkannya dengan gabungan kata-kata yang membentuk gambaran tcrtentu dalam sebuah keutuhan sajak Seorang pelukis mewujudkannya dalam sapuan cat dengan bidang-bidang tertentu dalam pengaturan tcrtentu, dengan wujud garis tertentu. Inilah kualitas medium seni. Dan dengan cara ini orang lain diharapkan dapat menangkap kualitas objek yang dilihatnya.
Dengan demikian, bukan hanya l~litas objek yang disampaikan, tetapi juga kualitas medium itu sendiri. Dalam lukisan pisang tadi (mungkin wujudnya mirip pisang atau sama sekali tidak mirip seperti yang kita ketahui sehari-hari), orang tak hanya mengharapkan dapat menangkap kualitas objek (isi seni) tetapi juga kualitas alatnya atau mediumnya (bentuk seni).
Justru kualitas bentuk inilah yang menjadi ciri mutu seni, menggeser kualitas objek yang ingin digambarkannya. Orang dapat lebih terpesona oleh indahnya garis dalam lukisan pisang tadi, yang lain sangat terpesona oleh penciptaan warna hijau yang tak dapat dijumpai pada pisang mana pun atau dalam benda apa pun di dunia ini kecuali dalam lukisan tersebut. Kualitas warna hijau itu hanya milik lukisan itu. Atau dalam sajak, cara memilih kata-kata dan menggabungkannya sehingga mernberikan sebuah imaji atau gambaran tentang pisang yang tak dapat kita bayangkan ketika benar-benar berhadapan dengan pisang sungguhan yang serupa. Atau malah ketika kita menyaksikan jenis pisang yang digambarkan penyair, sikap dan pengalaman kita terhadap pisang tersebut bertambah kaya dan bermakna. Inilah salah satu guna seni, yakni mernperkaya pengalaman dengan melihat makna dan harga suatu objek biasa secara tak terduga-duga.
Sebuah karya seni dikatakan berhasil kalau mampu menawarkan kualitas objek seni melalui kualitas medium seni. Dua-duanya tak dapat dipisahkan, hanya dapat dibedakan demi kepentingan penjelasan seperti ini. Seni yang baik tentu berarti bahwa kualitas objek seni terwujudkan dalam kualitas medium seni secara tepat berdasarkan selera atau sikap keindahan seniman. Seni tanpa kualitas semacam itu akan merosot menjadi sekadar gambaran informasi. Kualitas rasa itulah yang harus ada dalam sebuah karya seni. Dan kualitas rasa hanya dapat dialami oleh orang yang mampu merasakan kualitas tersebut. Dan ini memerlukan latihan berupa banyak pengalaman dalam menghadapi karya seni, di samping pengetahuan tentang apa itu seni.
Tentu saja kualitas yang dirasakan seniman itu bersifat subjektif. Seniman boleh saja menangkap kualitas sebuah penderitaan, misalnya orang sakit, berdasarkan subjektivitasnya sendiri. Si sakit, kalau kebetulan itu anaknya atau ibunya yang amat dicintainya, tentu akan membangkitkan pengalaman kualitas perasaan yang khusus dan mendalam. Orang memang akan mampu merasakan `kualitas penderitaan' si sakit. Tetapi, kalau dia seorang seniman, tak mungkin dia mengekspresikan kualitas perasaannya begitu saja. Orang yang bukan seniman mungkin akan terkuasai oleh kualitas perasaan penderitaan orang yang dicintainya, bahkan mungkin sampai pingsan atau histeris. Tugas seniman adalah mewujudkan kualitas rasa derita tadi dalam sebuah bentuk dengan medium tertentu. Dan kualitas rasa derita tadi juga harus dapat dirasakan oleh manusia umumnya. Ia harus mewujudkannya dalam kualitas rasa universal manusia umumnya. Dengan kata lain, ia harus menaklukkan, menguasai banjir kualitas perasaannya sehingga dapat dirasakan oleh orang lain yang tidak mengalami apa yang dialaminya. Dan, wujud ekspresi kualitas perasaannya tadi harus indah, menarik, `berseni'!
Maka, kualitas rasa tadi harus diwujudkan melalui medium yang dikuasainya. Seorang pemahat akan mengekspresikan kualitas rasa dan pikirannya tentang penderitaan tadi dalam medium kayu atau logam dengan guratan-guratan tertentu, sehingga rasa derita tadi terasakan melalui belitan bentuk dan guratan-guratannya itu. Guratan kayu tadi tiba-tiba menyuarakan tangis penderitaan yang dalam. Bentuk-bentuk yang diwujudkannya dalam logam dan kayu mengeluhkan sebuah bentuk penderitaan manusia. Manusia `merasakan' penderitaan itu dalam cara medium tadi diolah senimannya. Si seniman menuangkan perasaan, pikiran, dan intuisinya dalam medium seni yang dikuasainya. Benda seni itu menawarkan pemikiran, perasaan, dan intuisi yang berhubungan dengan kualitas tertentu yang dilihat seniman dalam objek seninya.
Kalau kita melihat lukisan `Ibu' karya Affandi, yang kita lihat bukan potret ibu yang tua saja, tetapi juga perasaan yang ditimbulkannya melalui garis-garis mukanya. Dan, garis-garis itu sendiri dibuat dengan begitu trampil sehingga memberikan kepuasan keindahan tersendiri yang seiring dengan muatan perasaan yang ingin disampaikan pelukisnya. Pada lukisan yang paling abstrak sekalipun, semua aneka bentuk, warna, garis, pola penyusunan, dan teknik saputan kuas memberikan kualitas rasa tertentu, meskipun objeknya tak jelas.
Karena seni itu menghadirkan kualitas, maka seperti pisang tadi, tiap orang tentu akan menangkap kualitasnya secara berbeda-beda pula. Kualitas yang diPasakan seniman terhadap objek tertentu atau non-objek, dan yang kemudian diwujudkan dalam karya seni, dapat ditanggapi oleh orang lain dengan berbeda-beda pula.
Semuanya bergantung pada kekayaan atau kemiskinan pengalaman seni atau pengetahuan seni orangnya. Sementara, kualitas yang dirasakan si seniman berada di dalam karyanya
Tentu tidak semua karya seni dapat diperlakukan semacam itu.
Teori di atas hanya diandaikan apabila kita menghadapi sebuah karya seni yang memang benar-benar bermutu seni. Soal bermutu atau tidaknya itu bergantung pada para penanggapnya, terutama para penang,gap khusus yang bertindak sebagai lembaga kritik seni. Lembaga kritik seni ini tidak harus kritikus pribadi, tetapi juga bisa sesama seniman, sebuah dewan penilai yang terdiri atas para pakar, seorang kolektor, atau institusi seni yang ada dalam masyarakat.
3. Seni menurut Clive Bell
Clive Bell termasuk seorang filsuf seni 'klasik modern' dengan bukunya yang terkenal, Seni (1913). (Art) Teori Bell yang terkenal, yakni significant form (bentuk bermakna), merupakan jalur pendapat Plato tentang'bentuk indah' yang seolah-olah berada di luar bentuk karya itu sendiri. Teorinya ini juga mirip dengan teori disinterestedness (ketidakpamrihan) dalam seni seperti diungkapkan oleh Kant. Meskipun banyak dikritik oleh para ahli estetika karena berbelitnya kesimpulan yang diambilnya tentang apa yang dinamainya bentuk bermakna tersebut, temuan Bell tentang seni sebagai bentuk bermakna ini amat populer.
Menurutnya, sernua sistem estetik dimulai dari pengalaman pribadi subj~k tentang terjadinya emosi yang khas. Kalau seseorang menatap sebuah karya seni (Bell hanya mau berbicara tentang seni lukis), dalam dirinya akan timbul suatu perasaan atau emosi yang khas, yang tidak sama dengan perasaan sehari-hari kita seperti marah, sedih, gembira, mulia, dll. Perasaan spesifik atau khas tadi disebut emosi estetik. Setiap karya seni yang berhasil akan mampu membangkitkan emosi estetik tertentu yang berbeda satu sama lain. Tetapi, berbagai emosi estetik yang berbeda-beda tadi saling memiliki kesamaan dalam karakternya. Memang, berbagai pengalaman emosi yang ditimbulkan benda-benda seni tersebut bersifat subjektif, yang berarti tergantung pada'selera' masing-masing subjek. Karakteristik emosi estetik yang ditimbulkannya adalah hasil dari penangkapan berbagai hubungan antara unsur bentuk, warna, dan garis yang membangun struktur tertentu dan bentuk tertentu. Jadi, emosi e'stetik ini sifafiya penilaian subjek terhadap karya seni. Maka, menurut,Bell, kritikus yang baik adalah kritikus yang mampu membuat sebuah karya seni yang'bisu' menjadi karya yang mampu membangkitkan emosi estetik bagi pembacanya. Meskipun semuanya itu berdasarkan selera subjek dalam 'menilai' sebuah karya, dan menghasilkan munculnya emosi estetik yang berbeda-beda, ada kualitas umum yang khas yang mendasari emosi-emosi estetik itu, yakni significant form atau bentuk bermakna. Di sinilah terdapat lingkaran setan itu. Apa yang oleh Bell disebut'emosi estetik' ditimbulkan oleh adanya kualitas bentuk bermakna dalam sebuah benda seni. Dan kalau terus dipertanyakan apakah bentuk bermakna itu, maka jawabnya adalah timbulnya pengalaman emosi spesifik atau khas yang dinamainya emosi estetik.
Lebih jauh Bell menjelaskan hubungan antara apa yang biasa disebut 'indah' dengan'bentuk bermakna'. Menurut Bell keduanya berbeda. Apa yang biasanya disebut'indah' belum tentu estetik. Indah itu lebih bersifat sensual, lebih melayani'apa yang diinginkan' oleh subjek, yang sifatnya lebih umum. Sementara itu, ~entuk bermakna sama sekali lain, yakni 'emosi spesifik' yang ditimbulkan oleh sebuah artefak seni. Wanita cantik itu indah, pemandangan alam juga indah, tetapi orang tak pemah mengharapkan munculnya emosi estetik dari tubuh manusia yang indah atau pemandangan yang indah. Wanita cantik menghadirkan bentuk yang indah, tetapi bukan bentuk bermakna, dalam arti tidak menggerakkan kita secara estetik.
Di samping menjelaskan perbedaan antara beauty dan signifant form, $ell juga menjelaskan perbedaan antara bentuk bermakna dengan bentuk dalam seni representasi. Dalam seni representasi (yang menggambarkan kembali kenyataan kehidupan konkret),'bentuk' bukan hanya objek emosi, tetapi juga dimaksudkan untuk membangkitkan emosi tertentu terhadap 'informasi' yang direpresentasikan. Lukisan potret atau lukisan sejarah diciptakan dengan maksud utama untuk menyampaikan informasi, dan informasi itu memberikan efek emosi tertentu. Emosi yang ditimbulkannya adalah demi kepentingan pragmatis kehidupan ini, rnisalnya menimbulkan emosi patriotik, emosi kemegahan, dan lain-lain. Berbagai emosi semacam itu masih punya hubungan yang erat dengan kepentingan hidup praktis, masih mengandung interest, dan dengan demikian tidak membangkitkan emosi estetik karena tidak memberikan bentuk bermakna. Sebuah seni representasi, misalnya lukisan, baru memiliki bentuk bermakna apabila lukisan itu bukan hanya menawarkan informasi dengan efek emosi tertentu, tetapi juga mampu membawa manusia melepaskan diri dari dunia aktivitasnya dan memasuki dunia kegembiraan estetik, yakni suatu dunia dengan bobot emosinya sendiri yang spesifik. Suatu bentuk murni yang membangkitkan emosi murni pula, yakni emosi estetik. Dunia seni bermakna adalah dunia dengan kualitas bentuk, garis, wama, irama, tekstur, dan nuansa-nuansa yang sama sekali tidak membawa kita pada bentuk-bentuk yang menyarankan representasi berbagai objek konkret duniawi ini. Kerajaan seni bermakna bukan berasal dari dunia ini. Dunia seni bermakna dunia transendental, yang menawarkan suatu pengalaman emosi estetik yang belum kita kenal dalam kehidupan emosi sehari-hari.
Itulah emosi mumi yang membebaskan diri dari pengalaman emosi sehari-hari kita.
Inilah pula sebabnya Bell menjunjung tinggi seni musik. Jenis seni ini adalah seni murni, karena material seninya (bunyi) tidak menyatankan representasi kenyataan hidup, dan bentuk keutuhannya juga tidak menyarankan segala hal yang bersifat duniawi.
Bagi Bell, seni musik adalah seni ideal. Musik itu seni bermakna dalam kodratnya. Jenis seni ini, seperti seni bermakna yang lain, hanya punya makna buat dirinya saja dan tak punya hubungan apa pun dengan kepentingan-kepentingan kehidupan praktis. Seni yang mementingkan interest tertentu sebenarnya hanya memberikan atau memenuhi emosinya sendiri.
Seni bermakna itu terlepas dari berbagai kepentingan konteks sosio¬budaya. Seni bermakna itu universal dan abadi, melewati batas-batas kepentingan konteks. Setiap seni bermakna akan selalu stabil, tak tergoyahkan oleh perubahan konteks sosio-budaya. Setiap seni bermakna juga jernih, murni, tidalc tercemar oleh berbagai kepentingan setempat dan sezaman. Ia melewati.segala zaman dan berada di luar zaman, sebab dunianya bukan dari dunia ini. Yang sering dipermasalahkan dari bentuk . bermakna ini adalah apakah yang dimaksud oleh Bell sebagai kualitas semacam itu bersifat'hubungan-hubungan' atau'karakteristik'. Apakah dalam sebuah karya seni, kualitas 'bentuk bermakna' itu didapatkan setelah adanya aktivitas menyusun, menghubung-hubungkan unsur-¬unsurnya, yang memang bersifat sangat subjektif, atau memang karya itu punya karakteristik dalam dirinya sedemikian rupa sehingga sanggup membangkitkan emosi estetik.
Uraian-uraiannya tampak mendukung pendapat bahwa bentuk bermakna diperoleh setelah aktivitas menghubung-hubungkan itu, setelah terjadi pembangunan struktur yang menghasilkan bentuk bermakna. Tetapi juga tcrdapat pernyataan yang mengarah pada pendapat bahwa bentuk bermakna itu adalah karakteristik karya itu sendiri. Dengan demikian, sckalipun karakteristiknya berupa esensi - signifikansi - konstan, dalam pilihan-pilihan bentuk eksis terjadi perubahan perseptual, kata Bell.
4. Seni menurut Leo Tolstoi
Leo Tolstoi (1828-1910) adalah sastrawan Rusia terkemuka yang telah menulis beberapa novel besar, baik dalam bentuk maupun permasalahan umat manusia. Pengarang ini mengemukakan pandangannya mengenai arti seni dalam esainya yang terkenal, Apakah Seni? (What is art?)
Seni, menurut kaum terpelajar yang menggemari karya seni tetapi tidak mendalami lebih jauh makna seni, diartikan sederhana saja, yakni aktivitas manusia yang menghasilkan sesuatu yang indah. Yang disebut indah itu adalah sesuatu yang amat sempurna dalam dirinya, yang dapat memberikan semacam kesenangan khusus kepada penerimanya.
Tolstoi tidak menyetujui pendapat kaum terpelajar awam ini. Seni tidak dapat dilihat hanya pada segi memberikan kesenangan berupa keindahan. Setiap orang mempunyai selera sendiri terhadap sesuatu yang disebut indah dan memberikan kepuasan serta kesenangan pada dirinya. Ibarat orang menyukai jenis masakan tertentu. Dia boleh menyebutnya enak dan memuaskan hatinya, tetapi orang lain boleh jadi akan mual dengan hanya membayangkannya saja. Masakan yang enak tidak menuntun orang pada pengertian apa hakikat masakan dan makanan bagi manusia. Makanan yang baik adalah makanan yang berguna bagi pertumbuhan jasmani kita, dan itu bisa enak dan bisa juga `tidak enak'. Maka, faham keindahan dalam seni harus disingkirkan untuk dapat memahami hakikat seni.
Seni adalah semacam `persetubuhan' antara satu manusia dengan manusia lain. Ada tindak memberi dan tindak menerima. Apa yang diberikan? Seniman memberikan perasaan atas pengalaman hidupnya kepada manusia lain lewat benda seni. Seni adalah ungkapan perasaan seniman yang disampaikan kepada orang lain agar mereka dapat merasakan apa yang dirasakannya. Dengan seni, seniman memberikan, menyalurkan, memindahkan perasaannya kepada orang lain sehingga orang itu rnerasakan apa yang dirasakan sang seniman. Lebih dairi itn, orang itu pun dapat menerima perasaan seniman dengan kondisi yang sama. Dengan sendirinya, kalau karya seni seorang seniman hanya dapat diterima oleh satu orang tertentu saja, dan tidak bisa diterima orang¬orang lain, maka karya itu bukan karya seni. Makin luas jangkauan penerimanya, makin besar karya seni itu.
Menurut Tolstoi, jenis perasaan yang diekspresikan seniman itu beragam, yakni dapat berupa perasaan yang kuat atau perasaan yang leolahq perasaan yang penting dan perasaan yang tak berarti, perasaan baik dan perasaan buruk. Ini dapat meliputi perasaan kagum, perasaan cinta tanah air, perasaan gembira, perasaan bangga dan megah, perasaan humor, perasaan tentram, dan banyak lagi jenisnya. Semua jenis perasaan diterima lewat indera manusia yang memberikannya suatu pengalaman (seni).
Dipandang dari segi sang seniman, yakni bagaimana mengekpresikan perasaan atas pengalamannya, Tolstoi memberikan tiga syara.t utama. Syarat pertama, nilai ekspresi bergantung pada besar-kecilnya kepribadian sang seniman. Tolstoi mempergunakan istilah `individualitas' seniman. Makin menonjol individualitasnya, makin kuatlah daya pengaruh pada penerimanya. Individualitas ini menekankan bobot sikap jiwanya. Syarat kedua, nilai ekspresi bergantung pada besar-kecilnya kejelasan, kej ernihan perasaan yang diungkapkannya. Seniman mendasarkan diri pada perasaan universal manusia, sehingga penerima seni dapat `menemukan' kembali perasaan yang sebenarnya juga telah dikenalnya, tapi mungkin jarang dirasakannya. Syarat ketiga, nilai seni bergantung pada besar-kecilnya kejujuran seniman. Syarat ketiga inilah yang terpenting.
Seniman mengungkapkan perasaan akibat pengalaman hidupnya, bukan untuk kepentingannya sendiri, tetapi untuk kepentingan banyak orang lain. Seorang penyair yang meratapi kematian isterinya yang amat dicintainya tentu tak akan menggerakkan perasaan banyak orang lain kalau ia hanya meratapi individu isteri yang dicintainya itu.
Ini sama saja dengan terapi stres akibat kematian isteri. Ratapan itu baru menjadi karya seni kalau orang lain dapat merasakan pahitnya kematian isteri mereka sendiri. Perasaan yang mencapai tingkat universal inilah yang diekspresikan. Dengan sendirinya perasaan ini muncul ketika ia menghadapi kematian isterinya, tetapi nilai kejujuran perasaan ini harus diangkat menjadi perasaan umum seakan-akan para pembacanya pernah mengalami perasaan semacam itu. Kejujuran perasaan itu muncul dari lubuk hatinya yang terdalam, yang mendesaknya untuk diungkapkan kepada orang lain. Dan untuk mengekspresikannya diperlukan penguasaan teknik seni yang secerdas mungkin.
Tingkat gradasi dari ketiga syarat tersebut pada tiap seniman berbeda¬beda: Ada yang dominan individualitasnya, tapi kurang kuat dalam kejelasan dan kejujurannya. Atau tingkat kejujurannya justru tinggi, tetapi agak lemah dalam kejernihan dan individualitasnya.
Semua persyaratan tadi menentukan apa yang disebut seni atau bukan seni; terlepas dari apakah perasaan yang diekspresikan itu baik atau buruk, `indah' yang menyenangkan atau `tidak menyenangkan'. Tujuan seni yang pokok adalah ikut berperan dalam menyempurnakan hidup manusia. Seni dapat membantu membentuk manusia sempurna, baik secara jasmani, spiritual, psikologi, sosial. Seperti halnya iImu pengetahuan dan agama menuniun manusia ke arah kemajuannya sebagai manusia, begitu jugalah seni.
Lebih jauh Tolstoi menekankan besarnya peranan agama dalam menuntun ke arah kemajuan menuju manusia sempurna. Setiap zaman memang memiliki makna hidupnya sendiri sesuai dengan kondisi dan persoalan zaman itu. Tetapi, tujuan akhir tetap pada kesempurnaan hidup, sebagai manusia, dan ini terdapat dalam persepsi agama yang ditafsirkan berdasarkan kondisi zamannya.
Religiositas agama inilah yang penting dan bukan sekadar ritual-formal agama. Karya seni yang berdasarkan persepsi agama semacam itu akan disambut oleh para penerimanya. Yang bertentangan dengan persepsi religiositas agama tentu akan ditolak oleh para penerima seni. Persepsi agama sezaman inilah yang perlu dikenal baik oleh setiap senimannya. .
Karena Tolstoi akrab dengan gereja Ortodoks Rusia, dasar seninya adalah perasaan yang dapat menyatukan manusia dengan Tuhan, dan menyatukan perasaan antara manusia dengan manusia lainnya: Seni yang baik itu selalu universal, karena mampu menyatukan perasaan seluruh umat manusia dan mendekatkan manusia pada Tuhan.
Berdasarkan rincian yang tidak terlalu baik ini, jelaslah Tolstoi memandang seni lebih dari segi seniman, yakni ekspresi perasaan seniman. Maka, apa yang disebut seni, dipandang dari `isi jiwa' senimannya, yang terlihat dari persyaratan seni yang baik tadi. Tentang persyaratan benda seninya sendiri kurang dikupas, meskipun di situ dikatakan perlunya teknik ungkap yang cerdas.
Begitu pula segi penerima seni, lebih banyak disorot sebagai pelaku pasif dalam penerimaan nilai seni. Tentang nilai seni sendiri lebih ditonjolkan nilai moralnya yang dihubungkan dengan religiositas agama. Persoalan yang tak disinggung Leo Tolstoi ini, dalam abad ke-20 dibahas oleh banyak pemikir seni lainnya.
Seni bukan yang memberikan keindahan sempurna, yang menyenangkan, dan memuaskan rnanusia, tetapi seni membuat manusia menjadi sempurna sebagai manusia.
5. Seni menurut Susanne K. Langer
Semua seni itu sama, hanya materinya yang berbeda. Prinsip-prinsipnya sama, teknik yang dilakukannya semuanya analog. Pendapat semacam ini dibantah Susanne K. Langer, filsuf seni Amerika, dan menyatakan bahwa pandangan semacam itu menjerumuskan dan tidak benar. Prinsip seni yang berlaku secara menyeluruh untuk semua golongan dan jenis seni diakui memang ada, tetapi tidak banyak.
Langer menyebutkan adanya tiga prinsip, yakni ekspresi, kreasi, dan bentuk seni.
Karya seni adalah bentuk ekspresi yang diciptakan bagi persepsi kita lewat indera dan pencitraan, dan yang diekspresikan adalah perasaan manusia. Pengertian `perasaan' di sini dalam lingkup yang Was, yakni sesuatu yang dapat dirasakan, sensasi fisik, penderitaan dan kegembiraan, gairah dan ketenangan, tekanan pikiran, emosi yang kompleks yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Seperti Tolstoi, Langer juga menolak ekspresi perasaan berupa perasaan subjektif seniman pribadi. Seorang penulis tragedi tidak harus mengalami lebih dahulu kematian anggota keluarganya. Atau seorang penyair yang melukiskan orang putus cinta tidak usah mengalami dahulu patah hati. Memang pengalaman perasaan subjektif itu perlu dan penting peranannya dalam mengekspresikan perasaan, tetapi tugas seniman adalah mengobjektifkan pengalaman pribadinya. Seni bukan alat untuk terapi jiwa seniman dengan memuntahkan perasaannya dalam bentuk benda seni. Seni juga bukan sebuah pengakuan dosa kepada khalayak penerimanya. Seni adalah ekspresi perasaan (dalam arti luas tadi) yang diketahuinya sebagai perasaan seluruh umat manusia, dan bukan perasaan dirinya sendiri. Kebenaran perasaan manusia umumnya inilah yang harus dicapai dan ditemukan oleh seniman, meskipun ia dapat mendasarkannya pada pengalaman perasaan pribadinya. Masalahnya adalah bagaimana seniman dapat melepaskan diri dari basah kuyup perasaan pribadinya dan menemukan dalam perasaan pribadi itu suatu perasaan yang dimiliki oleh umat manusia.
Di sini diperlukan kepekaan, kecerdasan,dan kebijaksanaan.
Prinsip ekspresi ini berlaku untuk semua golongan seni - seni musik, seni sastra, seni rupa, seni teater, seni tari, seni film. Juga jenis seninya - puisi, fiksi, dalam bentuk balada, epik, lirik, novel, cerita pendek, dsb.
Tentu saja prinsip elcspresi ini harus diterjemahkan dan disesuaikan dengan bentuk seni yang dipilihnya.
Di sinilah orang mulai berbicara soal material seni dan teknik seni, yang jelas berbeda-beda bagi setiap bentuk seni. Fungsi bunyi, misalnya, berbeda-beda untuk seni sastra, seni teater, seni musik, dan dalam puisi atau prosa.
Prinsip seni yang kedua adalah kreasi. Dalam bahasa Indonesia mungkin disebut ciptaan. Sesuatu yang tercipta berarti terwujud, yang tadinya tak ada menjadi ada. Tentu saja seniman masih harus menciptakan wujud seni berdasarkan material yang tak mungkin diciptakannya sendiri. Material itu telah ada bersama terciptanya alam raya ini.
Tetapi, masih dipersoalkan, apakah tukang batu yang membangun dinding bisa disebut menghasilkan sebuah kreasi? Bagaimana dengan pembuat sepatu? Apakah dia juga berkreasi? Mengapa penyair penulis sajak disebut berkreasi sementara tukang batu tidak? Tukang batu dan tukang sepatu tidak disebut berkreasi karena tugasnya memang hanya menggabung-gabungkan elemen material menurut fungsi praktisnya. Tukang batu tidak menciptakan dinding dan tukang sepatu tidak menciptakan sepatu. Seorang pelukis menciptakan lukisan, berbeda dengan tukang cat yang mengecat dinding rumah. Seorang pelukis memang menorehkan aneka warna dalam sebuah bidang gambar, seperti iuga tukang cat, tetapi yang dikerjakan pelukis adalah menciptakan sebuah struktur kesatuan ruang dengan cat-cat di atas kanvas. Gambar yang diciptakan pelukis merupakan struktur ruang, dan ruangriya sendiri secara menyeluruh memunculkan perwujudan yang ada, berisi warna¬warna yang dapat diindera oleh mata.
Seniman menciptakan sebuah ilusi, gambar, berupa ruang virtual. Ruang virtual dalam seni adalah ruang yang diciptakan. Materialnya memang sudah ada sebelumnya, dan dengan material seni itulah seniman menciptakan ilusi ruang yang merupakan sesuatu yang baru, yang dalam pengertian sebelumnya tak pernah ada. Ilusi ruang inilah yang diciptakan seniman dalam karyanya. Sebuah struktur memerlukan `ruang', baik tempat maupun waktu. Yang mewujudkan oleh struktur ruang virtual adalah ide, konsepsi pengalaman subjektif atau gejolak kehidupan perasaan.
Ruang virtual adalah sesuatu yang abstcak, meskipun terwujud dalam bentuk yang konkret. Ruang adalah sesuatu yang melebihi wujudnya sendiri. Kata Langer: `Bagaimana pun, dalam pemahaman suatu karya, kita melihatnya tidak sebagaimana pemilikan bentuk ekspresinya, tetapi sebagaimana keberadannya.'
Filsuf lain, Clive Bell, menyebut kreasi semacam itu sebagai `bentuk bermakna'. Bentuk yang ditemukan oleh seniman ini berupa suatu struktur ruang yang ditentukan oleh pengaturan aspek dan unsurnya. Dan ruang abstrak ini harus diwujudkan dalam bentuk yang melambangkan ruang virtualnya tadi.
Prinsip kreasi ini bukan merupakan konsepsi nilai, sehingga apa yang disebut kreasi itu juga meliputi lukisan yang benar-benar vulgar, nyanyian yang dangkal, tarian yang kekanak-kanakan, atau sebuah sajak yang jelek.
Prinsip bentuk dalam seni adalah pengertian abstrak, yakni struktur, artikulasi, hasil menyeluruh dari hubungan berbagai faktor yang saling berhubungan, atau lebih tepatnya cara terkaitnya berbagai aspek secara keseluruhan. Seni adalah suatu ciptaan bentuk yang `hidup', yang di dalamnya ada dinamika, ada kesatuan logis dalam dirinya. Setiap karya seni harus bersifat organis, dinamis, hidup, penuh vitalitas. Suatu karya seni yang tak berhasil sering disebut karya yang `mati', karena strukturnya tidak mengandung potensi mobilitas. Memang bentuk yang dihasilkan seniman tetap bentuk yang statis atau mati, tak ada satu bagian kecil pun yang berubah.
Sebuah lukisan tetap seperti itu wujudnya. Juga sebuah komposisi musik. Tetapi, di dalam wujud itu si penikmat dapat menemukan berbagai kemungkinan bentuk yang disediakan oleh karya seni. Sebuah novel yang kita baca di masa SMP tidak sama lagi ketika kita baca setelah kita menjadi doktor sastra. Perbedaan ini terletak pada kemungkinan yang dikandung oleh bentuk novel itu. Dalam novel yang sama itu si doktor melihat berbagai kemungkinan hubungan baru antara unsur dan aspek-aspeknya. Novel itu tidak mati, novel itu bentuk yang organis, hidup, dinamis. Kaitan hubungan antar-unsur yang dimungkinkannya membuat novel itu meinpunyai struktur baru dan dengan demikian isi yang baru pula, makna baru pula.
Dalam hal bentuk ini dapat dikatakan sesuatu yang menyangkut nilai. Bentuk seni yang hidup, yang dinamis, yang organis, yang berstruktur logis, yang penuh vitalitas gerak dalam dirinya, merupakan karya seni yang lebih berhasil daripada bentuk yang mati dalam kebekuan strukturnya. Dalam seni yang berhasil, bentuk `ini' dapat punya makna `itu' dan `itu'. Kekayaan seni yang berhasil selalu menantang penerimanya untuk berkreasi menciptakan `bentuk'-nya sendiri sehingga ditemukan makna baru. Isi seni itu abstrak dan hanya dapat dicapai lewat bentuk seni yang dapat diindera. Seni adalah bentuk yang hidup. Atau menurut Bell, `bentuk bermakna'.
Begitulah, dapat kita lihat bagaimana memahami hakikat seni dari segi filsafat, yang satu aspeknya tak dapat dipisahkan dari aspek yang lain. Untuk menjelaskan kreasi, perlu disinggung ekspresi dan bentuk. Begitu pula sebaliknya